Jumat, 05 Juni 2009

Mengukur Integritas

“Integritas” sebuah kata yang sering didengar gampang diucapkan namun tidak begitu mudah untuk dipahami. Untuk itu, kiranya perlu diulas lebih lanjut dan yang lebih penting lagi adanya hubungan yang erat antara integritas dengan apa yang kita laksanakan sehari-hari di tempat kerja. Sebuah kalimat berikut mungkin sering kita dengar “kalau ada yang mencari saya bilang tidak ada” ini adalah salah satu contoh kemunafikan yang sering terjadi dan celakanya sudah menjalar kemana-mana baik di tempat kerja di tempat umum dan bahkan di rumah. Ini adalah contoh dari integritas yang rendah. Lho koq bisa ?
Menurut teori dari HayGroup integritas menunjukkan bahwa tindakan seseorang sesuai dengan nilai-nilai yang diyakininya. Dengan kata lain, “satunya kata dengan perbuatan”. Mengkomunikasikan maksud, ide dan perasaan secara terbuka dan langsung, dan dapat menerima keterbukaan dan kejujuran, sekalipun dalam negosiasi yang sulit dengan pihak lain. Integritas adalah kesatuan diantara dua sisi apa yang dipikirkan dan dirasakan di satu sisi dan apa yang dikatakan dan diperbuat disisi yang lain. Bila ada celah diantara dua sisi ini maka seberapa besar sudut penyimpangannya sebesar itu pulalah tinggi rendahnya integritas seseorang. Ada pemeo “pukul dahulu urusan belakang” berarti porsi perbuatan yang dikedepankan sementara perasaan, pikiran, perkataan dikebelakangkan sehingga karakter orang yang seperti ini dapat dipastikan ber-integritas rendah.
Sikap
Manakala bertegur sapa atau bernegosiasi dengan seseorang dengan mudah akan diketahui apakah orang tersebut mempunyai integritas tinggi atau rendah. Bicara secara terbuka dan jujur apa adanya tidak ngarang-ngarang menunjukkan integritas yang tinggi. Namun demikian apa yang terjadi di lapangan tidaklah sesederhana apa yang diwacanakan. Di era persaingan yang semakin global diperlukan juga strategi-strategi yang khas sehingga sulit ditiru pesaing, disinilah diperlukan kejelian kapan kita bicara terbuka dan jujur dan kapan hal itu tidak dilakukan.
Tindakan.
Seseorang yang berintegritas tinggi akan melaksanakan segala sesuatu sesuai dengan nilai yang diyakininya, tidak melakukan penyimpangan-penyimpangan. Selalu konsisten dengan apa yang dilakukan. Ada etika dan moralitas dalam hal ini, sejauh mana etika suatu kegiatan dapat ditaati dan seberapa jauh penyimpangan moral yang dapat ditoleransi menurut kaidah-kaidah umum. Bila penjual bertemu pembeli dimana akan terjadi dialog yang cenderung “ngecap” bahkan “membual”. Nah seberapa jauh bualannya tentu ada batas-batas yang bisa diterima oleh logika dan akal sehat.
Daya tahan.
Daya tahan orang yang memiliki integritas tinggi adalah sejauh mana keberhasilannya untuk selalu gigih dalam situasi apapun. Selalu mencari jalan keluar di saat pihak lain sudah menyerah dalam menghadapi suatu masalah. Seller yang mempunyai daya tahan adalah seorang sales yang selalu berusaha untuk menjual, memberikan pembinaan kepada agen distribusinya, melaksanakan produk knowledge dan melaksanakan sales plan untuk pencapaian target yang menjadi bebannya. Dalam hal ini daya tahan juga dapat diartikan kemampuan untuk bertahan ditengah kompetisi persaingan yang semakin ketat dan global. Belajar dari kelemahan-kelemahan pesaing dan dengan segala daya upaya menutup kelemahan itu dan menganggap semua menjadi penting. Tidak ada bagian yang lemah diharapkan semua bagian mempunyai daya tahan yang kuat, tidak ada satu unit yang paling penting namun semua unit adalah penting. Ibarat tubuh bagian manapun yang diamputasi maka seluruh tubuh akan merasakan sakitnya. Bila tubuh tidak punya daya tahan HIV dan AIDs akan menyerang dengan mudahnya.
Biaya.
Dua kata indikator dalam hal ini adalah “hemat” dan “boros” nah, yang mana suatu aktivitas yang memerlukan biaya dapat dikategorikan hemat dan kapan dapat dikatakan boros ? harus ada kriteria yang jelas dan dapat dipakai. Integritas tinggi selalu memperhitungkan biaya yang akan dihabiskan dalam melaksanakan suatu aktivitas, analisa lost benefit selalu mejadi bahan pertimbangan. Mungkin dapat di-cap sebagai orang yang pelit, disinilah pengertian hemat menjadi bias sehingga beda tipis antara hemat dengan pelit. Sedangkan “boros” cenderung diartikan sebagai tindakan yang tidak ada perhitungan sama sekali sehingga terkesan “ngawur”.
Resiko
Berani dan takut dapat dijadikan sebagai tolak ukur.sebagai contoh sehari-hari adalah peminpin di unit kerja, apakah sebagai peminpin berani atau takut mengambil resiko? Maksud resiko disini adalah resiko yang terukur dan tidak ngawur. sejauh mana seorang peminpin mengambil tanggung jawab dalam situasi kritis. Peminpin yang tidak mempunyai integritas akan lari saat bawahannya menghadapi masalah. Jadi peminpin yang mempunyai integritas tinggi adalah peminpin yang tetap di-respek bawahan, berani mengambil resiko dalam memutuskan sesuatu yang populer maupun yang sama sekali tidak populer bagi dirinya.
Kesimpulan :
1. Dari uraian diatas dapat disusun daftar perilaku yang dapat mengukur integritas seseorang dengan harapan setiap insan dapat memahami sehingga integritas tinggi selalu menjadi perhatian.
Perilaku / Tingkat
Integritas Tinggi
Integritas rendah
Sikap
Terbuka, jujur
Tertutup, curang
Tindakan
Selaras & konsisten
Menyimpang & in-konsisten
Daya tahan
Kuat
Lemah
Biaya
Perhitungan matang
Ngawur
Resiko
Berani
Takut

2. Bagaimana untuk mewujudkan insan-insan yang mempunyai integritas tinggi.
· Sistem yang terbuka akan memicu sikap dan tindakan yang positip dari seluruh karyawan.
· Reward & punishment yang jelas dan tegas akan membentuk pribadi-pribadi yang mempunyai perhitungan matang dan berani mengambil resiko.
· Menanamkan budaya Perusahaan ke seluruh jajaran akan membentuk perilaku yang senantiasa mempunyai daya tahan kuat.
Semoga bermanfaat.
Denpasar, 27 November 2007

ORIENTASI PENCAPAIAN HASIL

Latar Belakang

Ide untuk menulis ini muncul setelah memperhatikan kriteria penilaian hampir mendekati dengan sasaran kompetensi umum yaitu Achievement Orientation (ACH) level 3. Penulis menyampaikan salut atas terselenggaranya lomba kreatifitas karyawan ini karena menurut pendapat penulis, lomba ini adalah suatu ajang untuk menampilkan kompetensi umum dari seorang pegawai, Adalah sebuah impelentasi untuk memberikan perhatian bekerja lebih baik bagi Perusahaan. Mari kita lihat potret diri kita pada kompetensi ini sebagai contoh : apakah dalam kita bekerja kita hanya mengerjakan apa yang diminta saja? Apakah perhatian kita lebih tertuju pada hal-hal diluar pekerjaan, seperti status, kehidupan social, keluarga. Apakah sulit untuk menguraikan uraian jabatan secara detail namun sangat antusias bila menceritakan aktivitas-aktivitas di luar perkerjaan.

Maksud dan Tujuan.
Alasan mengapa Orientasi Pencapaian Hasil perlu untuk diungkapkan menurut pendapat penulis adalah :
- Menurut kamus kompetensi ACH adalah suatu perhatian untuk bekerja dengan baik atau melampaui suatu standar prestasi.
- ACH adalah salah satu diantara empat kompetensi umum dalam sasaran kompetensi setiap pegawai dari grade yang terendah sampai dengan grade yang tertinggi.
- Setiap pegawai setidaknya mengetahui kompetensi tersebut.
- Meningkatkan lingkungan kerja yang kompetetif
- Meningkatkan kinerja Perusahaan dalam jangka penjang.
Ada delapan level dan indikator perilaku dari ACH mulai dari -1,0,1,2,3,4,5,6 dan mungkin hanya sebagian kecil pegawai yang tahu dan memahami definisi dari masing-masing level yang telah disebutkan di atas.


Realita.
Rumpun Jabatan
Level
Grade
Pendukung
1
2
3
A1, A2
B1, B2, C1
C2, D1, D2, E1
Manajer Fungsi
3
4
5
6
C2, D1, D2, E1
E2, E3, F1
F2, F3
G1

Dari data tersebut diatas mari kita simak makna yang terkandung dimasing-masing level. Sebagai contoh adalah ketidakmampuan untuk menguraikan pekerjaan secara detail namun sangat antusias bila menceritakan aktivitas-aktivitas di luar pekerjaan (-1).
Mengutip teori x dan teori Y dalam ilmu sumber daya manusia bahwa pada hakekatnya orang lebih cenderung pada hal-hal yang bersifat santai, jadi perilaku level (level -1) akan senantiasa muncul pada kativitas sehari-hari, sebagai contoh ngrumpi, ngobrol panjang lebar seolah-olah tidak ada batasan waktu. Bekerja keras tetapi tidak menunjukkan adanya standar keunggulan untuk menghasilkan hasil kerja yang istimewa (level 0). Tidak bisa dipungkiri bahwa dalam aktivitas sehari-hari sering terdapat indicator perilaku yang dapat dikategorikan level (0) bahkan (-1), ini merupakan tantangan kedepan untuk dapat menerapkan suatu system sehingga kompetensi ACH dapat dipahami dengan mudah. Ingin bekerja dengan baik (1), bekerja untuk mencapai standar kerja yang sudah ditetapkan oleh manajemen (2), dari sekelompok pegawai yang berada di posisi grade B1, B2, C1 mempunyai sasaran kompetensi pada posisi ini, ini berarti dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari pegawai tersebut haruslah menggunakan cara-cara yang spesifik untuk mengukur hasil kerja terhadap standar kerja yang ditentukan manajemen. Ini berarti

Target yang harus dicapai
Meningkatkan kinerja ( level 3 )
Membuat perubahan spesifik dalam system atau metode kerja sendiri untuk meningkatkan kinerja tanpa menetapkan sasaran yang spesifik. Belajar dari pengalaman bahwa kelemahan yang ada sampai saat yang penulis alami adalah belum dapat melaksanakan coaching dengan baik, hal ini disebabkan oleh beberapa faktor antara lain karena lebih terfokus pada sasaran pokok, boleh dikatakan bahwa proses ini tidak berjalan efektif mengingat begitu rumit dan banyaknya kompetensi yang mesti dikuasai. apakah penjabaran ACH ini bila diimplemetasikan pada pekerjaan sehari-hari. Perlu penambahan wawasan melalui literature yang erat hubungannya dengan ACH seperti peningkatan motivasi berprestasi, total productivity improvement. Kilas balik pada indikator perilaku bahwa hanya dengan menampilkan satu kompetensi ini ternyata begitu panjang dan begitu berat perjuangan yang harus dilalui, melakukan sesuatu lebih baik, lebih cepat, lebih efisien dengan biaya yang lebih rendah tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Tantangan Kedepan.
Mencapai sasaran menantang untuk diri sendiri dan orang lain (level 4), membuat analisa untung rugi (level 5), mengambil resiko wirausaha yang diperhitungkan (level 6) menurut pendapat penulis adalah tantangan kedepan yang mau tidak mau harus dicapai setiap pegawai apabila kita menginginkan kinerja yang bermutu.

Beberapa tahun berlalu, proses yang pernah dilakukan perlu untuk di-review kembali sehingga kita dapat membuat suatu konklusi dengan harapan dikemudian hari bila menghadapi proses serupa kita menjadi lebih matang dan berpengalaman. Ada beberapa kata kunci yang sebaiknya dipahami dalam membahas kompetensi ini :
Menciptakan lingkungan yang berfokus pada hasil yang bermutu.
Menetapkan sasaran yang produktif dan menantang
Memecahkan masalah untuk memenuhi sasaran.
Akhir kata, jalan terbaik untuk membangun kompetensi ini adalah belajar untuk berkata, berpikir dan berperilaku sebagaimana orang atau idola yang sudah mumpuni dan terbukti memiliki kompetensi ini.

Denpasar, 17 November 2005